smk

selamat datang di smk tkj

Cari Blog Ini

Rabu, 02 Februari 2011

Gaya Hidup Berubah, Angka Cerai Meningkat di Negara Teluk
Senin, 08 November 2010


Hidayatullah.com --Studi yang dilakukan baru-baru ini oleh GCC, dewan kerjasama negara-negara teluk, menunjukkan bahwa kasus perceraian jumlahnya bertambah dan terus mengalami peningkatan.

Jika dilihat dari total kasus perceraian di negara GCC, maka kasus cerai di Bahrain angkanya mencapai 27% pada tahun 2007. Di Uni Emirat Arab 25,6% (2008), di Qatar 34,8% (2009), dan di Kuwait 37,1% (2007).

Kajian itu tidak memasukkan nama Oman, karena minimnya ketersediaan data statistik dan kerjasama dari pemerintahnya. Demikian menurut Muna Al-Munajjid yang melakukan penelitian itu.

Studi yang diberi judul "Perceraian di Negara-Negara GCC: Resiko dan Implikasinya" itu menyebutkan bahwa angka rata-rata perceraian hampir sama dengan angka rata-rata perkawinan pada usia 20-29 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pasangan muda banyak yang berpisah pada awal-awal usia pernikahan.

Menurut Munajjid, yang merupakan seorang sosiolog dan penasehat senior di Booz & Company--perusahaan konsultan manajemen, penelitiannya didasarkan pada data statistik resmi dari pemerintah negara GCC dan juga hasil wawancara dengan beberapa wanita yang bercerai dan para pakar di kawasan itu.

Meskipun negara-negara GCC punya tradisi yang sama, namun dalam hal liberalisme dan konservatisme ada perbedaan antara satu negara dengan lainnya. Yang mana hal itu mempengaruhi hubungan antara pria-wanita yang kemudian berpengaruh pada bagaimana pasangan itu dipertemukan dan bercerai.

"Sayangnya data statistik yang ada kurang, tidak hanya terkait data perceraian, tapi juga data mengenai pendidikan dan pekerjaan wanita," tambahnya.

Untuk itu dia menyarankan agar dibuat database statistik negara GCC, guna membantu para peneliti sehingga bisa membedakan angka perceraian di kelompok sosial yang berbeda, termasuk di kalangan wanita muda, wanita berpendidikan dan lainnya.

Studi sengaja dilakukan guna mengetahui lebih lanjut mengapa angka perceraian di negara Teluk cenderung meningkat, sehingga pemerintah bisa membuat kebijakan untuk menanggulanginya.

Hasil penelitian juga menyebutkan bahwa perceraian membawa dampak merusak bagi perkembangan mental dan emosional anak serta kesehatannya. Tidak jarang wanita juga mengalami kekerasan fisik dan psikis, karena menghadapi mantan suami yang menolak memberikan nafkah untuk anak mereka.

Wanita yang bercerai juga mengalami diskriminasi sosial dan ekonomi. Banyak diantaranya yang mendapat stigma buruk karena menjanda.

Studi itu mendapati bahwa perubahan gaya hidup menjadi penyebab perceraian. Orang cenderung semakin konsumtif, sehingga pasangan suami-istri terjebak dalam hutang, yang pada akhirnya menyebabkan perceraian.

Ketidakbebasan dalam memilih pasangan hidup juga disebut-sebut menjadi salah satu faktor penyebab. Bapak masih berperan besar dalam pemilihan calon istri untuk putra-putra mereka, terlebih calon suami untuk putri-putrinya. Hal ini diperburuk dengan kurangnya kemampuan berkomunikasi antara suami-istri.

Di negara-negara Teluk, wanita menikmati kehidupan sosial yang lebih nyaman. Mereka bisa menetapkan harapan-harapn tinggi dalam perkawinannya. Tapi akibatnya, jika mereka merasa tidak puas, maka perkawinan bisa berujung pada perpisahan.

Data tahun 2007 di Kuwait menunjukkan, 46% perceraian terjadi pada pasangan suami-istri yang sama-sama memiliki pekerjaan. Angkanya semakin tinggi pada pasangan di mana hanya suami yang bekerja sementara istri di rumah saja, yaitu 54%.

Di Arab Saudi, para pria lebih menyukai wanita yang memiliki pekerjaan, terutama yang menjadi guru atau pegawai pemerintah. Menurut statistik 2008 angka perceraian di Saudi mencapai 20%.[di/an/ hidayatullah.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ubuntu muslim

sabily