smk

selamat datang di smk tkj

Cari Blog Ini

Selasa, 25 Oktober 2011

Tugas buat blok

mata pelajaran merancang web data base untuk content server

asal sekolah              : smk integral hidayatullah Berau

kelas                         : XII TKJ


Nama                       : Agussalim


Guru pembimbing      : Aspan syahbuddin
 

Rabu, 02 Februari 2011

Manfaat Memelihara Kucing

 03 November 2010
Manfaat Memelihara Kucing
Hidayatullah.com—Bagi umat Islam, kegemaran terhadap kucing bukan hal baru. Di zaman Nabi Muhammad saw juga ada sahabat yang menyayangi kucing. Begitu sayangnya ia terhadap kucing, sampai-sampai Rasulullah menjulukinya dengan Abu Hurairah (‘Bapak’nya Kucing). Abu Hurairah ini kita kenal sebagai pencatat sunah-sunah Nabi.
Saat ini di belahan dunia lain, di Amerika Serikat 33 persen rumah tangga memelihara kucing. Di banding rumah tangga pemelihara anjing, pemelihara kucing diketahui 16 juta lebih banyak.

Harian USA TODAY melaporkan berbagai manfaat memelihara kucing, sebagai respon setelah para penggemar kucing "cemburu" dengan laporan tentang berbagai manfaat memelihara anjing.

Semua orang tahu bahwa yang namanya anak kucing itu "menggemaskan", tulis USA TODAY. Kucing juga dapat tumbuh menjadi pengusir tikus yang baik dan sangat menghibur saat dilihat. Kucing juga mandiri dan tak membutuhkan perawatan serepot anjing.

Nah, kelebihan yang tak banyak orang tahu, ternyata kucing juga dapat menjadi hewan yang merawat tuan, bahkan keluarga tuannya. Kucing juga meningkatkan kesehatan tuannya dan mengajari anak-anak mereka untuk menjadi lebih baik dan memiliki jiwa yang lembut.

Contohnya ada pada Theodora Wesselman, nenek berusia 94 tahun dan telah tinggal selama dua tahun terakhir di panti jompo Tigerplace, Columbia, bersama Cleo, kucing peliharaannya.

Persahabatan abadi mereka merupakan contoh klasik bahwa manusia dan binatang bisa menjadi keluarga dan saling menjaga.

Wesselman masih bersilaturahim dengan penghuni lain dan anak-anaknya sering mampir. Tapi, "Cleo adalah teman terdekat," kata nenek itu tentang kucingnya yang sudah menemani selama 21 tahun.

Mereka memulai dan mengakhiri hari bersama-sama. "Ia tidur di bantal di sisi saya," ujar Wesselman."Di pagi hari, ia menyorongkan diri ke pipiku untuk membangunkanku. Manis sekali. Saya akan bilang menyayanginya, kemudian membawa dia ke dapur untuk menyiapkan makanannya."

Cleo dan Wesselman "hidup satu demi lainnya. Saya pikir mereka saling merawat," tutur Mary Kay Swanson, seorang pekerja di panti jompo Tigerplace.

Penelitian mengungkapkan bahwa kemampuan untuk peduli terhadap binatang peliharaan dapat memperbaiki moral dan membantu orang makin peduli pada dirinya. Hal itu dikemukakan Rebecca Johnson, direktur dari pusat penelitian interaksi manusia dan hewan Universitas Missouri.

Apakah peliharaan tertentu lebih baik dari lainnya? Anjing bisa merayu tuannya untuk jogging jika mulutnya membawa tali untuk leher ke dekat Anda.

"Tetapi, bunyi kucing mendengkur ternyata dapat menurunkan tekanan darah dan cukup mengusir stres dari otak," ungkap penelitian lembaga tersebut.

Kucing juga penuntut dan menggunakan iba, dan ini sebenarnya kelebihan mereka sebagai peliharaan. "Anjing peliharaan kalau dipukul kepalanya, dia akan tetap suka majikannya. Kucing tidak. Anak-anak yang memelihara kucing harus belajar bersikap lembut kalau tak mau ditinggalkan oleh kucing peliharaan."

Sebagian orang tua sengaja mendatangkan hewan peliharaan untuk membantu menanamkan nilai-nilai semasa pertumbuhan anak-anak sehingga peliharaan itu menjadi bagian yang menyatu dari keluarga.

Kalau sudah begitu, binatang peliharaan seolah tak ada bedanya dengan anggota keluarga. Contohnya terjadi pada Jud dan Katherine Smith, warga Cumberland, Maine.

Ketika satu dari kucing-kucing Bengal mereka kabur dari jendela, pasangan itu bersama kedua putrinya sangat resah. Sampai-sampai mereka memasang iklan satu halaman penuh selama tiga hari di surat kabar The Portland Press Herald lengkap dengan nomor telepon dan foto Kaden (si kucing). Tersedia imbalan 500 dolar bagi yang menemukan kucing itu.

Tiga pekan berlalu, Kaden ditemukan 7 mil dari rumah. Ia cukup lemas dan lelah, tetapi akhirnya "kucing itu kembali ke keluarganya," tutur Jud.

Sementara itu di rumah jompo Tigerplace, kesehatan Cleo mengkhawatirkan si perawat, Swanson. Dokter hewan mengatakan, kucing itu mengidap diabetes dan harus menggunakan insulin.

Swanson berbincang dengan si empunya kucing, Wesselman, mengenai usul untuk menyudahi hidup si kucing.

"Cleo ada di dekat kami selama perbincangan. Wesselman tampak bingung. Dia bilang Cleo mendengar pembicaraan kita," ujar Swanson.

Esok harinya Wesselman memutuskan untuk mengabaikan usul itu. "Saya tak pernah melihat Theodora begitu senang dan bersyukur. Cleo baik-baik saja. Ia berhenti menggunakan insulin, dan kami memantau darahnya tiap pekan," kata Swanson. Dan setiap pagi, Cleo menyorongkan diri ke pipi tuannya dan saat malam tidur di sisi Wesselman. [ant/hidayatullah.com]
Gaya Hidup Berubah, Angka Cerai Meningkat di Negara Teluk
Senin, 08 November 2010


Hidayatullah.com --Studi yang dilakukan baru-baru ini oleh GCC, dewan kerjasama negara-negara teluk, menunjukkan bahwa kasus perceraian jumlahnya bertambah dan terus mengalami peningkatan.

Jika dilihat dari total kasus perceraian di negara GCC, maka kasus cerai di Bahrain angkanya mencapai 27% pada tahun 2007. Di Uni Emirat Arab 25,6% (2008), di Qatar 34,8% (2009), dan di Kuwait 37,1% (2007).

Kajian itu tidak memasukkan nama Oman, karena minimnya ketersediaan data statistik dan kerjasama dari pemerintahnya. Demikian menurut Muna Al-Munajjid yang melakukan penelitian itu.

Studi yang diberi judul "Perceraian di Negara-Negara GCC: Resiko dan Implikasinya" itu menyebutkan bahwa angka rata-rata perceraian hampir sama dengan angka rata-rata perkawinan pada usia 20-29 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pasangan muda banyak yang berpisah pada awal-awal usia pernikahan.

Menurut Munajjid, yang merupakan seorang sosiolog dan penasehat senior di Booz & Company--perusahaan konsultan manajemen, penelitiannya didasarkan pada data statistik resmi dari pemerintah negara GCC dan juga hasil wawancara dengan beberapa wanita yang bercerai dan para pakar di kawasan itu.

Meskipun negara-negara GCC punya tradisi yang sama, namun dalam hal liberalisme dan konservatisme ada perbedaan antara satu negara dengan lainnya. Yang mana hal itu mempengaruhi hubungan antara pria-wanita yang kemudian berpengaruh pada bagaimana pasangan itu dipertemukan dan bercerai.

"Sayangnya data statistik yang ada kurang, tidak hanya terkait data perceraian, tapi juga data mengenai pendidikan dan pekerjaan wanita," tambahnya.

Untuk itu dia menyarankan agar dibuat database statistik negara GCC, guna membantu para peneliti sehingga bisa membedakan angka perceraian di kelompok sosial yang berbeda, termasuk di kalangan wanita muda, wanita berpendidikan dan lainnya.

Studi sengaja dilakukan guna mengetahui lebih lanjut mengapa angka perceraian di negara Teluk cenderung meningkat, sehingga pemerintah bisa membuat kebijakan untuk menanggulanginya.

Hasil penelitian juga menyebutkan bahwa perceraian membawa dampak merusak bagi perkembangan mental dan emosional anak serta kesehatannya. Tidak jarang wanita juga mengalami kekerasan fisik dan psikis, karena menghadapi mantan suami yang menolak memberikan nafkah untuk anak mereka.

Wanita yang bercerai juga mengalami diskriminasi sosial dan ekonomi. Banyak diantaranya yang mendapat stigma buruk karena menjanda.

Studi itu mendapati bahwa perubahan gaya hidup menjadi penyebab perceraian. Orang cenderung semakin konsumtif, sehingga pasangan suami-istri terjebak dalam hutang, yang pada akhirnya menyebabkan perceraian.

Ketidakbebasan dalam memilih pasangan hidup juga disebut-sebut menjadi salah satu faktor penyebab. Bapak masih berperan besar dalam pemilihan calon istri untuk putra-putra mereka, terlebih calon suami untuk putri-putrinya. Hal ini diperburuk dengan kurangnya kemampuan berkomunikasi antara suami-istri.

Di negara-negara Teluk, wanita menikmati kehidupan sosial yang lebih nyaman. Mereka bisa menetapkan harapan-harapn tinggi dalam perkawinannya. Tapi akibatnya, jika mereka merasa tidak puas, maka perkawinan bisa berujung pada perpisahan.

Data tahun 2007 di Kuwait menunjukkan, 46% perceraian terjadi pada pasangan suami-istri yang sama-sama memiliki pekerjaan. Angkanya semakin tinggi pada pasangan di mana hanya suami yang bekerja sementara istri di rumah saja, yaitu 54%.

Di Arab Saudi, para pria lebih menyukai wanita yang memiliki pekerjaan, terutama yang menjadi guru atau pegawai pemerintah. Menurut statistik 2008 angka perceraian di Saudi mencapai 20%.[di/an/ hidayatullah.com]

Gaya Hidup Berubah, Angka Cerai Meningkat di Negara Teluk

Gaya Hidup Berubah, Angka Cerai Meningkat di Negara Teluk
Senin, 08 November 2010


Hidayatullah.com --Studi yang dilakukan baru-baru ini oleh GCC, dewan kerjasama negara-negara teluk, menunjukkan bahwa kasus perceraian jumlahnya bertambah dan terus mengalami peningkatan.

Jika dilihat dari total kasus perceraian di negara GCC, maka kasus cerai di Bahrain angkanya mencapai 27% pada tahun 2007. Di Uni Emirat Arab 25,6% (2008), di Qatar 34,8% (2009), dan di Kuwait 37,1% (2007).

Kajian itu tidak memasukkan nama Oman, karena minimnya ketersediaan data statistik dan kerjasama dari pemerintahnya. Demikian menurut Muna Al-Munajjid yang melakukan penelitian itu.

Studi yang diberi judul "Perceraian di Negara-Negara GCC: Resiko dan Implikasinya" itu menyebutkan bahwa angka rata-rata perceraian hampir sama dengan angka rata-rata perkawinan pada usia 20-29 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pasangan muda banyak yang berpisah pada awal-awal usia pernikahan.

Menurut Munajjid, yang merupakan seorang sosiolog dan penasehat senior di Booz & Company--perusahaan konsultan manajemen, penelitiannya didasarkan pada data statistik resmi dari pemerintah negara GCC dan juga hasil wawancara dengan beberapa wanita yang bercerai dan para pakar di kawasan itu.

Meskipun negara-negara GCC punya tradisi yang sama, namun dalam hal liberalisme dan konservatisme ada perbedaan antara satu negara dengan lainnya. Yang mana hal itu mempengaruhi hubungan antara pria-wanita yang kemudian berpengaruh pada bagaimana pasangan itu dipertemukan dan bercerai.

"Sayangnya data statistik yang ada kurang, tidak hanya terkait data perceraian, tapi juga data mengenai pendidikan dan pekerjaan wanita," tambahnya.

Untuk itu dia menyarankan agar dibuat database statistik negara GCC, guna membantu para peneliti sehingga bisa membedakan angka perceraian di kelompok sosial yang berbeda, termasuk di kalangan wanita muda, wanita berpendidikan dan lainnya.

Studi sengaja dilakukan guna mengetahui lebih lanjut mengapa angka perceraian di negara Teluk cenderung meningkat, sehingga pemerintah bisa membuat kebijakan untuk menanggulanginya.

Hasil penelitian juga menyebutkan bahwa perceraian membawa dampak merusak bagi perkembangan mental dan emosional anak serta kesehatannya. Tidak jarang wanita juga mengalami kekerasan fisik dan psikis, karena menghadapi mantan suami yang menolak memberikan nafkah untuk anak mereka.

Wanita yang bercerai juga mengalami diskriminasi sosial dan ekonomi. Banyak diantaranya yang mendapat stigma buruk karena menjanda.

Studi itu mendapati bahwa perubahan gaya hidup menjadi penyebab perceraian. Orang cenderung semakin konsumtif, sehingga pasangan suami-istri terjebak dalam hutang, yang pada akhirnya menyebabkan perceraian.

Ketidakbebasan dalam memilih pasangan hidup juga disebut-sebut menjadi salah satu faktor penyebab. Bapak masih berperan besar dalam pemilihan calon istri untuk putra-putra mereka, terlebih calon suami untuk putri-putrinya. Hal ini diperburuk dengan kurangnya kemampuan berkomunikasi antara suami-istri.

Di negara-negara Teluk, wanita menikmati kehidupan sosial yang lebih nyaman. Mereka bisa menetapkan harapan-harapn tinggi dalam perkawinannya. Tapi akibatnya, jika mereka merasa tidak puas, maka perkawinan bisa berujung pada perpisahan.

Data tahun 2007 di Kuwait menunjukkan, 46% perceraian terjadi pada pasangan suami-istri yang sama-sama memiliki pekerjaan. Angkanya semakin tinggi pada pasangan di mana hanya suami yang bekerja sementara istri di rumah saja, yaitu 54%.

Di Arab Saudi, para pria lebih menyukai wanita yang memiliki pekerjaan, terutama yang menjadi guru atau pegawai pemerintah. Menurut statistik 2008 angka perceraian di Saudi mencapai 20%.[di/an/ hidayatullah.com]
Gaya Hidup Berubah, Angka Cerai Meningkat di Negara Teluk
Senin, 08 November 2010


Hidayatullah.com --Studi yang dilakukan baru-baru ini oleh GCC, dewan kerjasama negara-negara teluk, menunjukkan bahwa kasus perceraian jumlahnya bertambah dan terus mengalami peningkatan.

Jika dilihat dari total kasus perceraian di negara GCC, maka kasus cerai di Bahrain angkanya mencapai 27% pada tahun 2007. Di Uni Emirat Arab 25,6% (2008), di Qatar 34,8% (2009), dan di Kuwait 37,1% (2007).

Kajian itu tidak memasukkan nama Oman, karena minimnya ketersediaan data statistik dan kerjasama dari pemerintahnya. Demikian menurut Muna Al-Munajjid yang melakukan penelitian itu.

Studi yang diberi judul "Perceraian di Negara-Negara GCC: Resiko dan Implikasinya" itu menyebutkan bahwa angka rata-rata perceraian hampir sama dengan angka rata-rata perkawinan pada usia 20-29 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pasangan muda banyak yang berpisah pada awal-awal usia pernikahan.

Menurut Munajjid, yang merupakan seorang sosiolog dan penasehat senior di Booz & Company--perusahaan konsultan manajemen, penelitiannya didasarkan pada data statistik resmi dari pemerintah negara GCC dan juga hasil wawancara dengan beberapa wanita yang bercerai dan para pakar di kawasan itu.

Meskipun negara-negara GCC punya tradisi yang sama, namun dalam hal liberalisme dan konservatisme ada perbedaan antara satu negara dengan lainnya. Yang mana hal itu mempengaruhi hubungan antara pria-wanita yang kemudian berpengaruh pada bagaimana pasangan itu dipertemukan dan bercerai.

"Sayangnya data statistik yang ada kurang, tidak hanya terkait data perceraian, tapi juga data mengenai pendidikan dan pekerjaan wanita," tambahnya.

Untuk itu dia menyarankan agar dibuat database statistik negara GCC, guna membantu para peneliti sehingga bisa membedakan angka perceraian di kelompok sosial yang berbeda, termasuk di kalangan wanita muda, wanita berpendidikan dan lainnya.

Studi sengaja dilakukan guna mengetahui lebih lanjut mengapa angka perceraian di negara Teluk cenderung meningkat, sehingga pemerintah bisa membuat kebijakan untuk menanggulanginya.

Hasil penelitian juga menyebutkan bahwa perceraian membawa dampak merusak bagi perkembangan mental dan emosional anak serta kesehatannya. Tidak jarang wanita juga mengalami kekerasan fisik dan psikis, karena menghadapi mantan suami yang menolak memberikan nafkah untuk anak mereka.

Wanita yang bercerai juga mengalami diskriminasi sosial dan ekonomi. Banyak diantaranya yang mendapat stigma buruk karena menjanda.

Studi itu mendapati bahwa perubahan gaya hidup menjadi penyebab perceraian. Orang cenderung semakin konsumtif, sehingga pasangan suami-istri terjebak dalam hutang, yang pada akhirnya menyebabkan perceraian.

Ketidakbebasan dalam memilih pasangan hidup juga disebut-sebut menjadi salah satu faktor penyebab. Bapak masih berperan besar dalam pemilihan calon istri untuk putra-putra mereka, terlebih calon suami untuk putri-putrinya. Hal ini diperburuk dengan kurangnya kemampuan berkomunikasi antara suami-istri.

Di negara-negara Teluk, wanita menikmati kehidupan sosial yang lebih nyaman. Mereka bisa menetapkan harapan-harapn tinggi dalam perkawinannya. Tapi akibatnya, jika mereka merasa tidak puas, maka perkawinan bisa berujung pada perpisahan.

Data tahun 2007 di Kuwait menunjukkan, 46% perceraian terjadi pada pasangan suami-istri yang sama-sama memiliki pekerjaan. Angkanya semakin tinggi pada pasangan di mana hanya suami yang bekerja sementara istri di rumah saja, yaitu 54%.

Di Arab Saudi, para pria lebih menyukai wanita yang memiliki pekerjaan, terutama yang menjadi guru atau pegawai pemerintah. Menurut statistik 2008 angka perceraian di Saudi mencapai 20%.[di/an/ hidayatullah.com]

Analgesik Sebabkan Anak Laki Tidak Jantan

Analgesik Sebabkan Anak Laki Tidak Jantan
Jum'at, 12 November 2010


Hidayatullah.com --Penggunaan obat penghilang rasa sakit ringan seperti paracetamol, aspirin dan ibuprofen menjadi salah satu sebab meningkatnya kelainan pada alat reproduksi laki-laki dalam beberapa dekade terakhir. Demikian sebuah studi yang dipublikasikan pada hari Senin menyebutkan.

Berdasarkan penelitian, perempuan yang mengkonsumsi kombinasi lebih dari satu jenis obat analgesik ringan selama masa kehamilan beresiko lebih tinggi melahirkan putra tanpa testis yang sempurna.

Kondisi tersebut yang dinamakan cryptorchidism dikenal sebagai salah satu faktor resiko dari rendahnya kualitas cairan semen dan resiko kanker testis. Resiko cryptorchidism semakin tinggi terutama pada trimester kedua, yaitu bulan keempat hingga keenam masa kehamilan.

Menurut Henrik Leffers dari Rigshospitalet di Kopenhagen yang memimpin penelitian tersebut beserta timnya, lebih dari separuh wanita hamil di negara-negara Barat menggunakan obat analgesik ringan. Dia menyarankan, jika wanita hamil ingin mengurangi penggunaan analgesik agar berkonsultasi dengan dokter mereka.

Obat penghilang rasa sakit seperti paracetamol, ibuproven dan aspirin selama ini dianggap aman oleh para dokter.

Penelitian di negara-negara maju membuktikan bahwa jumlah sperma laki-laki turun hingga sekitar 50% selama setengah abad terakhir ini.

Studi yang dilakukan Leffers melibatkan dua kelompok perempuan, 834 di Denmark dan 1.463 di Finlandia. Mereka diberi daftar pertanyaan seputar penggunaan obat-obatan selama kehamilan.

Bayi laki-laki mereka kemudian diperiksa saat lahir, apakah menunjukkan tanda-tanda cryptorchidism mulai dari yang ringan hingga berat. Kondisi ringan yaitu jika testis terletak di atas skrotum dan berat jika testis naik hingga abdomen.

Studi mereka didiukung oleh penelti yang mencari tahu apakah analgesik pada tikus jantan menyebabkan kurangnya hormon testosteron selama periode penting kehamilan, yaitu saat organ seks laki-laki dibentuk.

Para peneliti itu mengatakan, efek analgesik pada tikus, sebanding dengan efek yang ditimbulkan oleh endokrin, yaitu penggangu seperti zat phthalates. Phthalates adalah zat kimia yang digunakan dalam pembuatan plastik dan PVC yang dapat menyebabkan ganguan pada hormon testosteron pada anak laki-laki, sehingga payudaranya membesar seperti perempuan.

Perempuan hamil yang mengkonsumsi obat analgesik, beresiko tujuh kali lipat melahirkan putra dengan cryptorchidism, dibanding yang tidak mengkonsumsinya sama sekali.

Trimester kedua sepertinya merupakan masa yang paling sensitif, karena penggunaan lebih dari satu macam analgesik akan meningkatkan resiko cryptorchidism menjadi 16 kali lipat.

Para peneliti dari Finlandia, Denmark dan Prancis yang hasil kerjanya dipublikasikan di jurnal Human Reproduction itu mengatakan, penelitian yang lebih banyak lagi sangat dibutuhkan dan saran penggunaan obat penghilang nyeri bagi wanita hamil perlu dipertimbangkan kembali.[di/rtr/ hidayatullah.com]

Remaja Stres Mudah Terserang Depresi

Remaja Stres Mudah Terserang Depresi
Rabu, 10 November 2010
Hidayatullah.com--Menurut penelitian yag dilakukan di Universitas Concordia di London, Inggris, stres dapat memengaruhi kesehatan mental dan menyebabkan gangguan bipolar kalangan itu.

Penelitian itu didasarkan kecemasan Mark Ellenbogen--pimpinan peneliti--atas maraknya "serangan" depresi di kalangan remaja dan orangtua. Berdasarkan latar belakang itu, Mark dan timnya mengukur tingkat stres dengan teknik pengukuran hormon kortisol dalam air liur responden.

"Semakin tinggi kandungan hormon kortisol dalam liur, maka semakin tinggi tingkat stres seseorang. Dan kadar kortisol yang tinggi dapat menyebabkan gangguan bipolar dan depresi yang akan dibawa sampai seseorang itu beranjak dewasa," jelas Mark.

Dikatakan Mark, kortisol adalah sesuatu yang diproduksi tubuh ketika menghadapi situasi sulit dan menantang kemampuan Anda untuk mengatasinya.

"Penelitian yang kami lakukan menemukan bahwa pasien remaja yang memiliki kadar kortisol tinggi akan mempertahankan jumlah kortisolnya jika tidak segera ditangani," katanya.

Gangguan bipolar adalah gangguan pada fungsi otak. Gangguan ini menyebabkan perubahan yang tidak biasa pada perasaan dan proses berfikir. Disebut bipolar karena penyakit kejiwaan ini didominasi adanya fluktuasi periodik dua kutub, yakni kondisi manis (bergairah tinggi yang tidak terkendali) dan depresif. [zeenews/lpt/hidayatullah.com]

ubuntu muslim

sabily